YOUTUBE SURGA HOAKS COVID-19?
Dalam beberapa bulan terakhir, ketika memasukkan kata kunci “virus Corona” dalam kolom pencarian YouTube, kita memang bakal disuguhi berbagai konten dari sumber-sumber kredibel, termasuk media asing maupun dalam negeri. Ini merupakan salah satu cara YouTube untuk mengerem penyebaran misinformasi terkait virus Corona baru penyebab Covid-19. Akan tetapi, bukan berarti hoaks seputar virus itu tidak bakal ditonton dalam jumlah yang besar di YouTube.
Pada pertengahan Februari 2020, BuzzFeed News merilis laporan berisi penelusuran terhadap 500 video YouTube dengan kata kunci “coronavirus” yang paling banyak ditonton pengguna. Di dalam daftar itu, banyak ditemukan video-video yang berasal dari media seperti Channel 4 News, South China Morning Post dan BBC News. Namun, daftar itu juga berisi lusinan video berisi informasi keliru ataupun tidak terkonfirmasi mengenai Covid-19. Bahkan, beberapa di antaranya telah ditonton jutaan kali, seperti video dengan klaim sesat bahwa virus Corona adalah senjata biologis hasil rekayasa laboratorium.
Menurut laporan BuzzFeed News, cerita bahwa virus Corona adalah senjata biologis Cina memang menjadi hoaks paling populer di YouTube saat ini. Video berisi klaim itu, yang paling banyak dibagikan, telah ditonton sekitar 1,2 juta kali hingga 11 Februari lalu. Video yang kini telah dihapus YouTube tersebut diunggah oleh kanal US Military Times. Terdapat dua video tentang “virus Corona sebagai senjata biologis” yang pernah dipublikasikan oleh kanal itu. Video hoaks kedua yang paling banyak ditonton di kanal tersebut, telah dibagikan lebih dari 31 ribu kali di Facebook. Padahal, seperti yang kita tahu, klaim terkait senjata biologis ini telah dibantah oleh para ilmuwan.
Sebuah studi berjudul “YouTube as a source of information on Covid-19: a pandemic of misinformation?” yang dipublikasikan di jurnal BMJ Global Health baru-baru ini juga menemukan, sekitar seperempat dari video dengan kata kunci “coronavirus” yang paling banyak ditonton di YouTube berisi informasi menyesatkan atau tidak akurat. Secara total, video-video sesat itu telah ditonton lebih dari 62 juta kali. Satu di antaranya merupakan video yang memuat informasi keliru bahwa perusahaan-perusahaan farmasi di dunia sudah memiliki vaksin Covid-19, namun menolak menjualnya.
Menurut para peneliti yang melakukan studi itu, informasi yang akurat dan berkualitas terkait Covid-19 memang juga diunggah ke YouTube, baik oleh badan-badan pemerintah maupun para ahli kesehatan. Tapi video-video itu seringkali sulit dipahami dan tidak memiliki daya tarik. Karena itu, riset tersebut merekomendasikan pemerintah dan otoritas kesehatan berkolaborasi dengan para influencer media sosial agar konten-konten mereka lebih menarik.
Marianna Spring, jurnalis senior BBC, mengatakan informasi dari pemerintah memang cenderung lebih kompleks. Hal inilah yang membuat informasi itu kurang menarik ketimbang video konspirasi, yang dapat memberikan penjelasan kepada mereka yang mencari jawaban cepat atau seseorang untuk disalahkan. Ini termasuk video dokumenter berjudul “Plandemic” yang viral beberapa pekan terakhir. Kualitas rekaman yang tinggi dan adanya wawancara dengan “ahli” membuat video tersebut terlihat sangat meyakinkan. Padahal, sejumlah klaim dalam video itu jelas keliru.
Berdasarkan laporan Avaaz, algoritma menjadi salah satu penyebab tingginya jumlah tayangan video misinformasi di YouTube. Pada Januari lalu, Avaaz mempublikasikan risetnya tentang sejauh mana YouTube merekomendasikan video hoaks seputar perubahan iklim. Setelah mengumpulkan lebih dari 5 ribu video, Avaaz menemukan 16 persen dari 100 video teratas dalam hasil pencarian di YouTube dengan kata kunci “global warming” berisi informasi palsu. Menurut laporan itu, jika pengguna menonton atau menyukai satu saja video misinformasi terkait perubahan iklim, konten serupa bakal muncul dalam “video rekomendasi”, dan pengguna bakal terkungkung dalam gelembung misinformasi.
YouTube memang sudah mencoba mengurangi penyebaran misinformasi seputar perubahan iklim di platformnya dengan membubuhkan kotak informasi di bawah video. Masalahnya, menurut temuan Avaaz, kotak-kotak informasi itu seringkali hanya berisi tautan ke Wikipedia tentang istilah umum terkait perubahan iklim. Artinya, kotak informasi tersebut tidak menunjukkan bahwa video di atasnya mengandung informasi yang salah. Hal ini mengkhawatirkan karena YouTube merupakan salah satu platform yang paling banyak digunakan oleh remaja berusia 13-17 tahun. Berdasarkan studi NiemanLab, kebanyakan anak-anak muda tidak memiliki kemampuan untuk mendeteksi misinformasi.
Menurut editor senior Media Matters, Parker Molloy, selain telah memiliki seperangkat pedoman yang melarang konten misinformasi, YouTube mulai beralih ke sistem moderasi konten otomatis, menggunakan teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Google, induk perusahaan YouTube, mengakui bahwa sistem itu tidak selalu seakurat moderasi konten oleh manusia. Dengan kata lain, akan tetap ada konten yang melanggar kebijakan YouTube yang tayang, dan di sisi lain ada pula konten yang tidak melanggar kebijakan YouTube yang bakal terhapus karena kekeliruan sistem.
Molloy menyatakan, kejujuran Google tersebut tidak mengubah fakta bahwa YouTube merupakan salah satu platform yang paling berkontribusi dalam membuat bingung masyarakat terkait isu serius semacam Covid-19. “YouTube berkontribusi atas apa yang disebut WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) sebagai ‘infodemic’, di mana informasi begitu berlimpah, beberapa akurat dan beberapa tidak, yang menyulitkan masyarakat untuk menemukan sumber yang dapat dipercaya ketika mereka membutuhkannya,” kata dia.
0 Comments